Drestarasa Raja Buta yang Menyaksikan Kejatuhan Hastinapura

Drestarasa Raja Astina dan ayah dari para Kurawa
Drestarasa raja Astina yang buta sejak lahir dan ia juga adalah ayah dari para Kurawa

Prabu Drestarastra adalah putra sulung Prabu Krisnadpayana atau Abiyasa, seorang raja Astina yang lahir dari rahim Dewi Ambika. Ia mempunyai dua orang adik yaitu Prabu Pandu Dewanata yang lahir dari Dewi Ambalika dan Yama Widura yang lahir dari dayang Drati.

Drestarastra buta semenjak ia dilahirkan, ini akibat ulah ibunya yang sebenarnya tidak mencintai suaminya, Abiyasa. Dewi Ambika merasa jijik pada saat menunaikan kewajibannya sebagai istri, karena wajah Abiyasa buruk dan seram. Karena itulah ia selalu memejamkan mata bila melayani suaminya.

Karena perbuatan itulah, Dewi Ambika kelak melahirkan anak yang tuna netra. Cacat yang diderita Drestarastra, mau tidak mau harus diterimanya sebagai kenyataan.

la pun harus menerima kenyataan bahwa kerajaan mengangkat adiknya, Pandu Dewanata, sebagai pewaris takhta Astina, bukan dia.

Namun meski buta dan tak bisa melihat keindahan dunia sejak ia lahir, ia mendapat kesaktian bawaan yang disebut rajah lebursaketi, gunanya adalah apabila ia sedang marah maka apa yang dipegangnya akan menjadi hancur lebur seketika.

Pendengaran dan perasaannya juga sangat peka sehingga ketika pecah perang Bharatayuda, ia dapat tahu dan merasakan siapa-siapa saja yang telah gugur dalam medan perang di kurusetra.

Karena memiliki cacat mata sehingga tak mampu untuk melihat, ia bernasib malang karena tidak diangkat menjadi putra mahkota Astina meskipun Drestarasta adalah anak pertama, sedangkan yang diangkat menjadi putra mahkotanya adalah anak kedua Abiyasa dengan Dewi Ambalika yang bernama Pandu.

Bahkan mendapatkan istri yang bernama Dewi Gendari, putri raja dari negara Gandaradesa yang bernama Prabu Gandara berkat jasa Pandu. Sang adik ketika sepulang dari Negara Mandura setelah memenangkan sayembara tanding agar mendapatkan Dewi Kunti.

Di tengah jalan Pandu dihadang oleh Arya Suman (Sengkuni), anak Prabu Gandara dari Negara Plasajenar yang ingin merebut Dewi Kunti. Setelah berperang tanding melawan Pandu dan mengakui kalah, ia menyerahkan adik yang waktu itu diajaknya untuk diperistri Pandu pula.

Drestarastra pun dinikahkan dengan Dewi Gendari. Perkawinan ini pun sebenarnya tidak menyenangkan hati Dewi Gendari maupun Sengkuni, karena sebenarnya kedua orang itu mulanya berharap Dewi Gendari akan dapat menjadi istri Pandu Dewanata.

Ini terjadi karena pada waktu itu, Pandu Dewanata mempersilakan kakaknya memilih satu di antara tiga calon istrinya. Ketiga wanita itu adalah Dewi Kunti dari Kerajaan Mandura, Dewi Madrim dari Kerajaan Mandaraka, dan Dewi Gendari dari Kerajaan Gandaradesa.

Dengan rencana kakaknya yaitu Sengkuni, sebelum Drestarastra melaksanakan pilihannya, Dewi Gendari melumuri tubuhnya dengan rendaman ikan yang sudah busuk. Menurut pikiran Sengkuni karena Destarastra buta, ia tidak akan bisa melihat kecantikan seorang wanita.

Maka jika tubuh Dewi Gendari berbau busuk dan anyir tentu tidak akan terpilih. Namun perhitungan Sengkuni itu tidak berhasil seperti yang diharapkannya.

Tepat pada saat akan melaksanakan pilihannya, tubuh atau jasmani Drestarastra disusupi arwah seekor naga laut bernama Taksaka. Hal ini menyebabkan selera Drestarastra langsung berubah drastis.

Bau anyir dan busuk dianggapnya sebagai sesuatu yang harum dan sangat menggairahkan. Karenanya tanpa ragu, saat itu juga Drestarastra langsung menjatuhkan pilihannya pada Dewi Gendari.

Karena kecewa mendapat suami buta sekaligus ingin menunjukkan rasa setia kawannya, sejak perkawinannya dengan Drestarastra, Dewi Gendari selalu menutup kedua matanya dengan kain pada siang hari.

Sebagai janji kesetiaannya yang semakin tinggi, maka Dewi Gendari bersumpah untuk menutup matanya seumur hidup dengan seikat kain agar sama yang di rasakan dengan suaminya.

Mereka akhirnya memiliki keturunan sebanyak seratus anak dan kelak anak keturunannya dinamakan bangsa kuru, Kuru Hawa atau Kurawa.

Drestarasa pun akhirnya pernah menjadi penguasa di Astina ketika prabu Pandu meninggal dunia dalam usia muda dan Pandawa masih sangat kecil-kecil, dengan sebuah perjanjian bahwa kelak takhta Astina akan dikembalikan kepada anak Pandu apabila sudah cukup umur untuk memerintah sebuah negara.

Namun setelah menjadi raja, ternyata Drestarastra terlalu banyak mendengar bujukan istri dan anak-anaknya serta hasutan tidak benar dari Sengkuni.

Dengan kelicikan Sengkuni, adik iparnya itu yang ia angkat sebagai patih, maka Astina selanjutnya justru jatuh ke tangan Duryudana, putra sulung Destarastra sendiri.

Selama Prabu Drestarastra menjadi raja di Astina, sebenarnya yang menjalankan pemerintahan sehari-hari adalah anak sulungnya, Duryudana yang dibantu Patih Sengkuni. Atas bujukan istrinya dan Sengkuni, Prabu Drestarastra mengangkat Duryudana sebagai raja muda bergelar, Prabu Anom Kurupati atau Prabu Anom Suyudana.

Karena Prabu Drestarastra selalu kalah pengaruh dan berdebat dengan anak sulungnya, perdamaian antara Kurawa dengan Pandawa tidak dapat lagi dilakukan maka pecahlah perang Baratayuda.

Usaha Prabu Kresna sebagai duta perdamaian dari pihak Pandawa tidak berhasil meminta kembali wilayah Kerajaan Amarta dan separuh Kerajaan Astina.

Baca Juga: Bisma Sang Penjaga Astina dan Sumpah Abadi di Mahabharata

Beberapa saat menjelang perang Baratayuda, Abiyasa atas ijin para dewa, menawarkan pada Drestarastra kemampuan untuk melihat jalannya perang tanpa harus pergi ke tegal Kurusetra, walaupun ia buta.

Begawan Abiyasa sebenarnya ingin agar Drestarastra dapat melihat sendiri akibat semua perbuatannya selama ini, membiarkan para Kurawa melakukan tindakan angkara murka yang sangat kelewat batas.

Namun tawaran itu ditolaknya, karena ia merasa tidak sanggup menyaksikan pertempuran hidup mati antara anak dan keponakannya. Drestarastra minta agar anugerah itu diberikan kepada Sanjaya saja, anak bungsu Yama Widura, yang selama ini menjadi pengiring dan pemandunya.

Akhir riwayat hidup Destarastra yang semakin menua adalah setelah penyesalan yang mendalam atas gugurnya seluruh anaknya akibat ambisi kekuasaan yang justru membuat dirinya dirundung kesedihan dan tak ada rasa bahgia di dalam sisa hidupnya.

Sehingga ia telah merasa untuk segera menjauhi keduniaan, menyucikan diri dengan memohon diampuni dosa-dosanya kepada dewata.

Beberapa tahun sesudah Baratayuda usai, barulah Drestarastra menyerahkan takhta Kerajaan Astina kepada Puntadewa (Yudistira). Sesudah itu, diiringi oleh Dewi Gendari, dan iparnya, Dewi Kunti serta adik bungsunya, Yama Widura, Drestarastra meninggalkan istana pergi ke gunung.

Mereka masuk ke hutan dan hidup sederhana, menunggu waktu sampai ajal datang menjemput. Namun belum lama mereka tinggal di sana, terjadi kebakaran hutan dikarenakan musim kemarau yang sangat panjang.

Drestarasta meninggal dunia terpanggang dalam kebakaran yang hebat tersebut bersama istrinya, Dewi Gandari dan adik iparnya, Dewi Kunti serta adiknya, Yama Widura.

Versi lain tentang meninggalnya Drestarastra, yaitu ketika Prabu Kresna menjadi duta para Pandawa dijebak dan dikeroyok para Kurawa, kemudian Kresna marah dan triwikrama menjadi raksasa sangat besar, demikian besarnya sampai merobohkan dinding istana Astina, Drestarastra dan Dewi Gendari jatuh dan tertimpa puing-puing dinding yang runtuh.

Sementara itu keseratus orang Kurawa yang ketakutan, berlarian menyelamatkan diri, menginjak-injak puing-puing dinding yang runtuh itu, sehingga menewaskan Drestarastra dan Dewi Gendari.

Nah, itulah cerita tentang raja Astina Drestarasta, di masa hidupnya yang tidak bisa menentang setiap keinginan putranya untuk menjadi penguasa Negara Astina.

Semua keputusannya yang selalu di pengaruhi Duryudana dan Sengkuni mendapatkan balasan yang begitu mengerikan, yaitu mengetahui seluruh anaknya gugur di tangan keponakannya.

Komentar