Dewi Gandari: Kisah Tragis Ibu Para Kurawa dalam Cerita Mahabharata

Dewi Gandari ibu dari para Kurawa yang memilih menutup mata seumur hidup

Di dalam cerita Mahabharata, di antara tokoh-tokoh perkasa seperti Bima, Arjuna, atau Duryudana yang energik dan penuh dengan aksi, terdapat sosok yang justru diamnya menggema lebih keras daripada gemuruh perang.

Dia adalah Dewi Gandari, Permaisuri Hastinapura dan ibu dari seratus Kurawa. Dewi Gandari bukan hanya figur ibu yang menerima saja, tapi dia adalah simbol pengorbanan, kesetiaan untuk menjadi buta, karma, dan konsekuensi dari memilih diam di tengah kezaliman yang sedang terjadi.

Kehidupannya bagaikan rajutan benang-benang tragedi yang dimulai dari sebuah keputusan yang sangat heroik yang berubah secara cepat menjadi malapetaka.

Asal-Usul dan Pernikahan

Gandari adalah putri dari Subala, Raja. Dia dikaruniai kecantikan dan kebijaksanaan, serta memiliki anugerah spiritual yang luar biasa. Dewa Shiwa memberkatinya dengan kemampuan untuk melahirkan seratus orang putra.

Ketika masa pernikahannya telah tiba, dia dinikahkan dengan pangeran Hastinapura, yaitu Destarastra, putra tertua Resi Abiyasa dan dewi Ambika. Destarastra yang seharusnya menjadi penerus takhta Hastinapura tapi tidak bisa karena ia terlahir buta.

Sebagai bentuk kesetiaan dan solidaritas yang luar biasa terhadap suaminya, Gandari memutuskan untuk menutup matanya dengan sehelai kain seumur hidupnya.

Dewi Gandari memilih untuk masuk ke dunia yang sama dengan Destarastra. Tindakan ini sering ditafsirkan sebagai pengorbanan yang luhur, namun juga menjadi akar dari seluruh tragedi yang akan terjadi. Sebuah keputusan di lakukan secara sukarela dengan membutakan diri terhadap kenyataan.

Kelahiran Seratus Putra (Kurawa) dan Seorang Putri

Proses kelahiran seratus putra Gandari pun sungguh tidak biasa. Setelah mengandung dalam waktu yang lama tanpa memiliki tanda akan melahirkan, dia mengetahui bahwa Dewi Kunti (istri Pandu, adik Destarastra) telah melahirkan seorang putra yang bernama Yudistira.

Merasa cemas dan tersaingi, Gandari memukul-mukul perutnya dalam keadaan frustasi, yang mengakibatkan dia melahirkan sebuah gumpalan dara (mass of flesh).

Resi Abiyasa, yang memahami takdir tersebut, kemudian datang untuk membantu. Dia membagi gumpalan daging itu menjadi seratus satu bagian, menempatkannya dalam guci-guci (kundi) yang berisi mentega susu, dan kemudian menguburnya selama setahun.

Setelah masa itu, guci pertama akhirnya terbuka dan lahirlah Duryudana, diikuti oleh 99 putra lainnya. Guci terakhir mengeluarkan seorang putri, yang bernama Dursala atau Dushala. Kelak, seratus putra tersebut dikenal sebagai Kurawa, dengan Duryudana sebagai anak tertua dan yang paling berpengaruh.

Konflik Batin dan Peringatan yang Diabaikan

Sebagai seorang ibu, tentu saja Gandari sangat mencintai semua anak-anaknya. Namun, berbeda dengan Destarastra yang cenderung memanjakan dan mencari cara membenarkan segala kesalahan anak-anaknya.

Gandari memiliki mata hati yang jauh lebih jernih. Dia sering kali menegur dan memperingatkan Duryudana serta anak-anaknya yang lain agar tidak iri hati terhadap para Pandawa dan menjalani hidup dengan kebenaran sebagai pedoman.

Inilah beberapa momen kritis yang menunjukkan kebijaksanaan Dewi Gandari:

  1. Saat kelahiran Duryodana  terdapat suara-suara pertanda buruk seperti serigala yang melolong mengiringi kelahirannya. Gandari dan para penasihat, termasuk Bisma, mengetahui ini adalah pertanda kehancuran. Gandari bahkan menyarankan agar Duryodana dilepaskan untuk menyelamatkan keluarga, tetapi Destarastra menolak.
  2. Setelah permainan dadu antara Pandawa dan Kurawa, Gandari jelas-jelas mengecam peristiwa yang mempermalukan Drupadi menantu dinasti kuru. Dia tahu bahwa tindakan anak-anaknya itu telah jauh melampaui batas.
  3. Sebelum perang Bharatayuda, Gandari melalui Duryodana berusaha mendamaikan para Kurawa dengan Pandawa. Dia menyuruh Duryudana untuk berbagi kerajaan dengan adik-adik sepupunya. Sayangnya, nasihat yang baik itu kembali diabaikan oleh sang putra.

Di sinilah tragedi Gandari sebagai seorang ibu terlihat sangat jelas. Meskipun dia tahu mana yang benar, kesetiaannya pada suami dan anak-anaknya membuatnya tidak mampu bertindak lebih tegas dari ini. Dia memilih untuk berdiam diri dan dalam diamnya itu seperti menanam binih dari sebuah kehancuran.

Peran dalam Bharatayuda dan Anugerah

Selama perang Kurusetra sedang berlangsung, Gandari tinggal di istana dengan hati yang sangat hancur. Dia tahu perang itu adalah buah dari keserakahan semua anak-anaknya.

Pada suatu hari, Duryudana datang menghadapnya untuk meminta berkahnya sebelum kembali ke medan perang. Gandari, sebagai ibu berjanji akan mendoakan yang terbaik untuk putranya itu.

Dia menyuruh Duryudana mandi dan datang kepadanya dalam keadaan telanjang, agar dia dapat memandangnya dengan "mata spiritual" dan memberkati seluruh tubuhnya sehingga menjadi sekeras baja.

Basudewa Kresna yang mengetahui hal ini, datang lebih dahulu dan membujuk Duryudana dengan sindiran, "Tidak pantas seorang pangeran tampan seperti kamu menampakkan diri tanpa busana di depan ibumu. Cukup pakai cawat saja."

Tidak di sangka Duryudana setuju. Ketika Gandari membuka penutup matanya dan memandangnya, "pandangan" spiritualnya yang terkonsentrasi ke seluruh tubuh anaknya membuat bagian itu menjadi seperti baja.

Bagian paha dan pangkal paha Duryodana itu tidak menjadi seperti baja, karena tertutup cawat. Kelak, dalam pertarungan terakhir, Bima mengingat hal ini dan memukul tepat pada paha Duryudana (yang merupakan hal terlarang dalam perang Gada) menyebabkan kekalahannya.

Baca Juga:
Drestarasa Raja Buta yang Menyaksikan Kejatuhan Hastinapura
Pandu Raja Astina dan Ayah dari para Pandawa

Kutukan kepada Sri Kresna: Puncak Kepedihan Seorang Ibu

Tragedi puncak Gandari terjadi setelah perang besar itu telah usai, dengan seluruh putranya tewas. Ketika Yudhistira dan para Pandawa yang tersisa datang untuk meminta restunya, Gandari masih diliputi kesedihan dan amarah. 

Dia tahu kematian anak-anaknya adalah akibat perbuatan mereka sendiri, tetapi sebagai seorang ibu, dia tidak bisa menerima kenyataan itu dengan tenang.

Ketika Basudewa Kresna datang, Gandari mengeluarkan kutukan yang langsung mengguncang langit. Dengan seluruh kekuatan kesedihan dan kesaktiannya, dia mengutuk bahwa “36 tahun kemudian, seluruh keluarga Yadawa (klan Kresna) akan saling bunuh dan musnah, sama seperti keluarga Kuru yang telah binasa, dan Kresna yang bisa menyelamatkan banyak orang, akan meninggal dalam sebuah kesendirian.

Kutukan ini bukanlah untuk orang jahat, melainkan ledakan kepedihan seorang ibu yang telah kehilangan segalanya. Yang membuat terkejut, Kresna menerima kutukan itu dengan tenang dan bahkan dengan senyuman.

Dia melihatnya sebagai sesuatu yang sudah menjadi takdir, dan Gandari hanyalah perantaranya. Peristiwa ini menunjukkan betapa dalamnya luka Gandari dan sebuah karma bekerja dengan cara yang begitu sempurna.

Akhir Hidup dan Warisan Filosofis

Tidak lama setelah Yudistira menjadi raja Hastinapura, Destarastra, Gandari mengasingkan diri bersama Kunti (yang juga kehilangan anaknya, Karna, dan semua cucunya) dan Widura ke dalam hutan untuk menjalani hidup sebagai pertapa.

Mereka akhirnya meninggal dunia di dalam sebuah kebakaran hutan dan mencapai moksa.

Warisan dan Karakter Dewi Gandari

1. Simbol Kesetiaan dan Pengorbanan

Keputusannya untuk menutup mata adalah puncak dari kesetiaan. Namun, ini juga menjadi peringatan tentang kesetiaan menjadi buta yang dapat membuat seseorang mengabaikan kebenaran dan realita.

2. Konflik antara Kebenaran dan Keibuan

Gandari terjebak dalam konflik abadi, yaitu menjalankan kebenaran dengan mengutuk perbuatan salah anak-anaknya, atau melindungi anak-anaknya sebagai seorang ibu.

Ketidakmampuannya menyelesaikan konflik ini dengan tegas menjadi pelajaran tentang pentingnya mengambil sikap untuk menetapkan kebenaran di atas diri sendiri.

3. Kekuatan dan Kelemahan dalam Diam

Diamnya Gandari sering ditafsirkan sebagai persetujuan. Dalam konteks kekuasaan, diam di tengah kezaliman dianggap sebagai bentuk sebuah dukungan. Ini adalah pelajaran yang sangat relevan hingga masa kini.

4. Perempuan sebagai Agen dari Karma

Gandari bukanlah korban pasif. Melalui kutukannya kepada Kresna, dia menjadi agen karma yang aktif, mengingatkan bahwa penderitaan yang mendalam dapat melahirkan kekuatan yang dapat mengubah takdir.

5. Pelajaran tentang Pola Asuh

Kisah Gandari dan Destarastra adalah studi kasus sempurna tentang pola asuh yang gagal total. Dengan memanjakan dan pembiaran terhadap kesalahan anak-anak atas nama cinta pada akhirnya membawa kehancuran bagi anak-anak mereka sendiri.

Kesimpulan

Dewi Gandari adalah bagaikan jiwa yang terpecah. Dia adalah permata kebijaksanaan yang terkurung dalam kegelapan dalam pilihannya sendiri. Dia adalah ibu yang mencintai, tetapi juga saksi dari kesalahan anak-anaknya.

Kehidupannya adalah sebuah simfoni kesedihan yang dimulai dengan sebuah niat yang sangat mulia, namun berakhir dengan sebuah kehancuran secara total.

Dalam setiap helai kain yang menutup matanya, tersimpan cerita tentang cinta, pengorbanan, amarah, dan penyesalan yang menjadikannya salah satu karakter paling manusiawi, kompleks, dan tak terlupakan dalam sastra dunia.

Komentar